Siapa bilang hobi kala senggang tak menghasilkan uang? Simak apa yang dilakukan Dini Astriani, yang berbekal imajinasi kreatif, mampu menghasilkan berbagai handicraft. Pemasarannya, bahkan sudah tembus mancanegara. Tri Vivi Suryani
Membuat pernak-pernik atau kerajinan, awalnya dilakukan Dini untuk sekadar mengisi waktu luang. Dari sekadar coba-coba, Dini akhirnya malah keterusan dan tertantang untuk menjadikannya sebagai ladang mengais rejeki. Maka pada tahun 1998, dengan modal awal Rp100 ribu, Dini bertekat bulat mendirikan bendera bisnis Dini Design dengan beralamat di Jl. Pahlawan 113 Bogor. Ia membuat berbagai kerajinan, seperti lilin, undangan, kotak parcel kue kering, pigura, notes, tempat tisu, tempat pensil dan masih banyak lagi, dengan total 50-an item. Tak disangka, produk buatannya disukai semua golongan usia, mulai dari anak TK hingga ibu rumah tangga. Baik orang lokal maupun golongan ekspatriat.
Apalagi jika menjelang hari raya, baik itu Imlek, Natal, Lebaran maupun tahun baru, maka kotak kue Dini laris dicari pembeli. Kekhasan produk Dini, dengan berciri sederhana namun elegan, membuat produk Dini melekat dan tak terlupakan. Hingga saat ini, produk unggulan Dini selain kotak kue adalah undangan, souvenir dan kertas daur ulang.
Produk-produk itu dilempar ke pasaran dengan harga beragam. Kotak, misalnya, dijual mulai Rp2500 hingga Rp200 ribu. Undangan, mulai Rp2500 sampai Rp17 ribu. Bahan-bahan (bagi yang ingin membuat sendiri) mulai dari Rp1000 sampai Rp3000. Souvenir pernikahan mulai dari Rp1000 sampai Rp 20 ribu.
Dengan beragamnya produk itu, dalam sebulan, Dini paling tidak mengantongi omset per bulan Rp6 juta. Setelah dikurangi untuk pembelian bahan baku dan gaji karyawan, maka Dini mendapatkan keuntungan bersih Rp3 juta.
Padahal, pemasaran yang dilakukan Dini tergolong sederhana, masih mengandalkan dari mulut ke mulut. Belakangan baru berkembang dengan sistem konsinyasi dengan menitipkan berbagai produk di toko-toko kerajinan, mall dan sekolah di berbagai wilayah Bogor. Meski demikian, produk Dini sudah mampu menembus pasaran luar negeri hingga ke Kanada, California, Heidelberg (Jerman) dan Singapura.
Kerajinan dibuat dengan menggunakan bahan baku, antara lain kertas daur ulang, tikar, karung, biji-bijian, bunga-bunga kering, kerang, tali, rumput-rumputan dan daun kering, yang didapatkan Dini dari Bogor dan Jawa Tengah. Alhasil, kerajinan made in Dini terlihat unik dan sangat back to nature.
“Sejak awal, saya memang ingin membuat pernak-pernik yang bahan bakunya dari kertas daur ulang agar mempunyai misi lingkungan hidup. Biar sesuai dengan background pendidikan saya,” urai ibu berputra satu ini yang merupakan lulusan landscape IPB.
Dasar memang ada hobi, Dini tidak merasa perlu untuk mengambil kursus membuat berbagai kerajinan, melainkan belajar otodidak dari berbagai buku dan majalah, atau melihat-lihat di berbagai pameran. Berdasar pengamatan itu, Dini mencoba-coba sendiri dengan berbagai bahan-bahan natural.
Untuk mengerjakan berbagai kerajinan itu, Dini dibantu satu karyawan tetap di bagian finishing dan 16 orang karyawan lepas dengan sistem penggajian per job order. Karyawan tetap mendapatkan gaji Rp600 ribu per bulan. Sedang karyawan lepas antara Rp30-40 ribu per hari.
Agar produknya lebih go public ke masyarakat, Dini beberapa kali berpartisipasi dalam berbagai macam pameran yang digelar Dinas Pariwisata maupun Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi. Selain itu, juga pernah ikut dalam pameran Inacraft dan Jawa Barat Expo di Bandung.
Meski terkesan jalan usahanya meluncur mulus, namun Dini pernah mengalami pengalaman pahit beberapa tahun silam. Ceritanya, ada seseorang yang menelpon dan memesan souvenir dalam partai besar. Orang itu lantas bilang kalau sudah mentransfer DP. Ketika dicek, ternyata tidak ada transfer masuk dan malah dana Dini di rekening dikuras habis.
“Saya anggap itu sebagai musibah. Namun, bukan berarti saya kapok berbisnis. Bagi saya, pengalaman itu guru terbaik agar lain kali lebih berhati-hati,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment